SABTU SIANG, 6 September 2023, saat jari telunjuk tengah asik bergulir di Instagram, konten akun Makassar Biennale (MB) menjadi sajian di beranda menampilkan agenda awal dari kegiatan MB. Konten berupa pamflet itu bertuliskan “Seni, Pendidikan, dan Gerakan Warga” beserta foto dari masing-masing panelis dan moderator yang diadakan pada 9-10 September 2023. Seketika melihat kolom keterangan, agenda ini adalah simposium yang mempertemukan akademisi dan praktisi seni budaya sebagai ruang untuk berdialog dengan publik seputar isu pendidikan, seni dan pembangunan pesisir.
Sekiranya pukul 11.00 siang, sebelum menghadiri undangan malam pembukaan MB 2023, kami urun serta dalam simposium “Seni, Pendidikan dan Gerakan Warga” berlokasi di Aula Prof. Syukur Abdullah, FISIP, Unhas. Ibu Wahyaningsih, perintis taman belajar SALAM Yogyakarta, menjadi salah satu panelis dalam simposium tersebut berucap, “Selama ini, pendidikan di Indonesia berbasis hapalan dan juga penyeragaman dari Sabang sampai Merauke, menafikkan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan, yang tiap pulau memiliki ciri khas masing-masing.”
Kalimat Ibu Wahyaningsih mengalirkan segelintir memori sewaktu kami duduk di bangku sekolah menengah. Jika tiba masanya akan diadakan ujian, murid dianjurkan untuk belajar alih-alih menghapalkan rangkuman seluruh mata pelajaran dan apabila jawaban yang ditulis tidak sesuai dengan kalimat yang tertera di buku, maka jawaban akan disalahkan. Di bangku sekolah, acapkali kita ditanya, “Ingin jadi apa kalau dewasa nanti?”
Apa yang terpikirkan tadi dalam beberapa detik dijelaskan oleh Ibu Wahyaningsih dengan tuturan, “Aliran pendidikan reproduksi ini yang melanggengkan budaya bisu dan yang didesain dengan belajar-lulus-cari pekerjaan, bukannya menciptakan lapangan kerja. Kurikulum katanya sudah merdeka, tapi kita dituntut untuk tahu semuanya.” Langgengnya pendidikan bukan pada kerangkeng kurikulum formal yang mengharuskan mempelajari segalanya melainkan menguatkan apa yang dibutuhkan, memberi kebebasan, dan mempertajam pikiran.
Dalam sesinya, Ibu Wahyaningsih menayangkan video profil Sanggar Anak Alam (SALAM) Yogyakarta. SALAM merupakan taman belajar anak yang dihidupkan oleh Ibu Wahyaningsih dan Toto Rahardjo pada 20 Juni tahun 2000. Sarana taman belajar ini mentransformasikan pengetahuan bagi anak usia 2-17 tahun dengan mengelompokkan usia belajar tiap anak. Baju yang seragam, mata pelajaran, metode hapalan, dan seperangkat aturan kaku yang diterapkan dunia pendidikan pada umumnya, mengantar ia dan suaminya untuk memberi ruang merdeka pada anak dalam memekarkan potensi diri. Baginya, anak memiliki talenta, keunikan, dan ketertarikan masing-masing tanpa perlu diseragamkan.
“Anak adalah maha guru bagi dirinya dan sumber belajar bagi teman-temannya,” tutur Ibu Wahyaningsih.
Mengikuti paparan Ibu Wahyaningsih, mendorong kami memikirkan metode pendidikan yang semestinya dilakukan oleh penyelenggara pendidikan. Sekolah mestinya menciptakan ruang belajar bebas bagi anak, mendukung agar anak menemukan jati diri dan potensi yang dimilikinya. Membiarkan anak melakukan eksperiman dan mengeksplor apa yang disukai merupakan tindakan meruntuhkan bias pendidikan formal. SALAM hadir sebagai sekolah pendidikan rumahan tanpa adanya kerangkeng mata pelajaran berbasis kurikulum formal, melainkan riset berdasarkan minat belajar yang disukai anak-anak dan mampu menemukan pengetahuannya sendiri. Anak bebas mengekspresikan temuan dengan memanfaatkan lingkungannya sebagai media belajar. Dari sini kami simpulkan bahwa permasalahan situasi dalam masyarakat sangat bisa diatasi dalam sebuah karya, gagasan, dan kekuatan prinsip.
Diskusi menarik ini ditutup dengan foto bersama panelis (Ibu Wahyaningsih, Pak Moelyono, Pak Wicaksono Adi, dan Ibu Nur Utaminingsih) dan seluruh peserta simposium.
TELAH REMBANG petang di Sabtu malam, mengendarai motor dengan menempuh perjalanan sejauh 13,9 kilometer dari kampus Unhas ke Rumata’ Artspace, kami urun serta dalam perhelatan pembukaan MB 2023.
Di bawah rindangnya pohon ketapang dan cahaya dari lampu pemancar, kami dan tamu lainnya bersila santai beralas tikar bambu. Sajian onde-onde, jalangkote, kue cantik manis, es lemon tea dan kopi susu hangat di sebelah timur panggung MB menemani kemeriahan malam pembukaan MB 2023. Ornamen perahu layar yang terkena pantulan lampu merah biru terpajang di atas panggung dengan tulisan “Makassar Biennale”.
Tari kreasi Bugis-Makassar menjadi tirai pembuka acara, dilanjutkan sepatah kata dari Anwar Jimpe Rahman atau akrab disapa Kak Jimpe selaku direktur MB, kemudian mendengar kidungan lagu dari Vinale, Pelakor, dan D’Elite yang tergabung dalam kerja kolaboratif MB 2023 dan musisi lintas-genre Kota Makassar yang menciptakan larik-larik lagu yang bersuai dengan isi buku Riwayat Gunung dan Silsilah Laut dan sub tema MB 2023. Vinale dengan lagu yang tiap katanya begitu puitis, salah satunya, “Lalu Bersama Angin”. Pelakor, band asal Kabupaten Gowa, dengan lagunya berhasil membawa kita seperti ke masa 1990a, musik keroncong yang mereka dendangkan begitu indah. Kemudian D’Elite, membawakan lagu bernuansa Rap berhasil mengundang penonton ikut bergoyang bersama.
Melalui projektor yang diarahkan ke layar lebar berwarna putih di sebelah kanan panggung, tersurat bahwa “maritim” bagi MB dimaknai sebagai ekosistem hidup dari hulu ke hilir mulai dari gunung, daratan hingga laut yang saling menopang kehidupan. Tiap tahun, “maritim” menjangkar sebagai tema abadi pada pagelaran seni rupa “Makassar Biennale”. Anwar Jimpe Rahman menyebut bahwa pagelaran ini dilaksanakan di Makassar, Pangkep, Parepare, Labuan Bajo dan Nabire. Dilansir dari akun Instagram MB, tahun 2023 ini subtema tiap-tiap kota berbeda disesuaikan dengan pembacaan kondisi lanskap dan potret spesifik keadaan wilayah. “Darat Kian ke Barat” menjadi sub tema MB 2023 untuk wilayah Makassar, digagas berdasarkan hasil analisis lanskap wilayah pesisir barat Makassar yang semakin ke darat akibat reklamasi.
Usai disuguhkan tari kreasi Bugis-Makassar dan dendangan para musisi dalam acara pembukaan MB, kami menyambangi beberapa seni rupa yang dipamerkan.
Sembari menunggu antrian untuk masuk ke dalam ruang pameran, “Selamat Menyelamatkan” karya Alghifahri Jasin menjadi seni instalasi pertama yang kami lihat. Letaknya di sebelah kiri ruangan. Instalasi dipajang menggunakan tikar bambu sebagai alas dan di atasnya terdapat sebuah dupa yang disajikan di atas baki beralas daun pisang. Melihat keterangan dari secarik kertas putih, Alghifahri menyatakan bahwa penggunaan dupa dalam karya ini mencerminkan harapan akan perdamaian dan pemulihan ruang hidup warga Pulau Lae-Lae serta mempertebal kekuatan seluruh makhluk hidup yang berada di lingkup pulau tersebut dalam mempertahankan kehidupan mereka. Karya ini sekaligus merujuk pada kenyataan buruk yang dihadapi warga Pulau Lae-Lae, terjadinya ketimpangan dimana pembangunan hanya mengedapankan nilai ekonomis dan abai terhadap dampak ekologis.
Selesai mengamati karya Alghifahri, antrian pun lengang. Kami mengisi daftar pengunjung, lalu masuk ke dalam ruang yang menyajikan empat karya seniman residensi MB 2023. Keempat seniman ini Alifah Melisa, Yahyakhan Natadias, Jim Allen Abel, dan Moelyono. Seperti dilansir dari akun Instagram MB, seniman luar kota Makassar ini datang dengan tangan kosong dan melakukan model residensi dengan belajar terkait budaya, isu, dan pengetahuan warga yang ditemui selama proses residensi untuk menciptakan karya.
Saat masuk ruangan, kami terpaku pada dinding sebelah kanan dicat biru bertuliskan “Mangarra Bombang”. Terpajang kertas berisi gambar anak-anak menggunakan crayon. Beberapa gambar yang terlihat seperti perahu, pelangi, suasana pantai, dan masih banyak lagi. Mangarra Bombang berarti aroma ombak sekaligus penamaan pantai di Kelurahan Tallo, Kota Makassar, Pantai Marbo. Seni instalasi ini merupakan gambar dari anak-anak Pantai Marbo yang dikemas menjadi sebuah karya dwimatra oleh Alifah Melisa. Impak dari penimbunan tanah reklamasi di sebelah barat pantai ini menenangkan ombak dan pendapatan nelayan pun kian menyusut serta aroma ombak yang menjadi identitas dari pantai ini sudah tidak tercium lagi. Melaui coretan crayon anak-anak Marbo, Alifah berupaya mengabadikan keseharian di Pantai Marbo sebelum tiba masa identitasnya sudah tidak ditemukan lagi.
Melihat dan mengamati sepenuhnya karya dari Alifah membuat kami paham bahwa seni dapat difungsikan sebagai sebuah memoar.
Usai melihat karya Mangarra Bombang, kami beringsut menyambangi karya yang ditandai dengan tipografi hitam bertuliskan “Mimpi Buruk Pesisir People”. Di bawah tipografi tersebut, terpampang lukisan berupa kartu berisi nomor dan gambar yang bertuliskan pantai tercemar, terumbu karang rusak, warga vs proyek, dan masih banyak lagi. Keterangan di samping karya menjelaskan bahwa nomor dalam kartu dibuat sebagai metafora nomor togel dan gambar yang merepresentasikan kondisi lingkungan dan masyarakat pesisir Kota Makassar saat ini.
Dikutip dari akun Instagram MB, berangkat dari isu-isu pesisir yang diamati Diasnata selama residensi di Kota Makassar, karya “Mimpi Buruk Pesisir People” dihidangkan sebagai bentuk tafsir fenomena pesisir saat ini yang diproyeksikan dalam kondisi Makassar kedepannya. Lukisan Diasnata yang menampilkan sisi gelap pembangunan Makassar, membuat kami melihat secara jelas impak dari pembangunan yang menggebu menciptakan pariwisata maritim bernilai ekonomis alih-alih melumpuhkan lingkungan dan merenggut akar penghidupan nelayan (dan masyarakat pesisir lainnya).
Kutipan akhir tulisan Aziziah dkk berjudul “Tanah yang Bergerak di Selat Makassar” dalam buku “Riwayat Gunung dan Silsilah Laut” terbitan Tanahindie (2023) berkelindan dengan karya “Mimpi Buruk Pesisir People”.
“Penimbunan di pesisir memindahkan banyak hal. Bukan hanya tentang fisik yang berpindah, namun laku kehidupan juga bergeser yang awalnya dipusatkan di laut, kini menjadi daratan mulai dari akar pencaharian nelayan, pertetanggaan, ruang komunal, hingga sesederhana pemandangan luar jendela,” tulis Aziziah, dkk.
Setelah menyelami sisi gelap yang dialami masyarakat dan lingkungan pesisir, kami selanjutnya berjalan menghampiri potret monokrom Makassar tempo dulu (kisaran tahun 1930-an), ditengah sekumpulan foto terpampang sebuah gambar cetak yang menampilkan dua rusa menaiki perisai bertuliskan “Gemente Makassar”. Di depan dinding, terdapat meja kaca yang di atasnya ditaruh beberapa buku. Satu di antaranya adalah “Kampung Perkotaan Indonesia: Kajian Historis-Antropologis terhadap Kesenjangan Sosial dan Ruang Kota” yang dieditori oleh La Ode Rabani dan Johny A. Khusyairi. Karya ini membawa kita melihat keberadaan kampung di perkotaan dari perspektif spasial-sosial, bahwa definisi kampung lebih luas dari batasan konsep yang mengarah pada stereotip negatif yang ada pada negara.
Melalui pajangan buku dan potret Makassar, Jim Allen Abel seniman kelahiran Luwu yang berkarir di Bandung ini menampilkan seni interaktif berbasis data untuk membawa pengunjung memahami lanskap sosio-kultural dan sejarah hidup Kota Makassar. Seni interaktif karya Jim Allen ini menjadi cermin atas kebutuhan bagi kehidupan masyarakat dalam sebuah kota pada masa yang akan datang.
Sabtu, 23 September 2023, kami kembali menyambangi MB 2023. Kali ini kami mendatangi pameran yang dilaksanakan di Atmosphere Studio. Ketika memasuki ruang pameran, kami menjumpai karya seni instalasi berupa perahu dan jaring tangkapan nelayan. Secarik kertas putih ditempelkan di samping karya menyuratkan bahwa instalasi ini dari Sokola Pesisir. Mereka menyajikan menyajikan perahu dan jaring yang digunakan sebagai alat tangkap para pelayan di Mariso. Sokola pesisir hadir sejak 2005 dalam menghadapi berbagai masalah sosial yang ada di Mariso dan dijalankan oleh para pemuda setempat hingga saat ini.
Dari penjelasan kertas putih, pembangunan kota dan reklamasi pantai telah membawa banyak perubahan kepada kampung nelayan Mariso, kehidupan kota yang serba cepat tidak hanya mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir Mariso, tetapi juga berdampak pada pola konsumsi yang menjadi instan. Tulisan dalam kertas putih juga menyebutkan, “Dulu, hasil tangkapan nelayan mencapai 5-10 kilogram dalam semalam, kini nasib baik jika tangkapan mencapai dua kilogram. Akses laut kian sempit, imbasnya anak-anak kehilangan lahan bermain dan tertutupnya akses nelayan Mariso untuk melaut.”
Beringsut ke karya selanjutnya, lagi-lagi tentang masyarakat pesisir Mariso. Seni instalasi ruang dapur berupa alat masak dan makan yang digantung serta foto kotak bekal anak-anak PAUD Mariso, bertajuk, “Dimana Lauk dan Lautnya” dari Kebun Tetangga. Merujuk penjelasan pada kertas putih, residensi yang dilakukan Kebun Tetangga bersama tim MB melihat langsung pola konsumsi masyarakat Mariso yang menjadi instan dan serba tak pasti, padahal tadinya mereka bergantung pada pasang surut laut. Wujud dari pola hidup yang berubah ini mereka lihat dari menu di kotak bekal murid PAUD di Sokola Pesisir.
Terjadinya pasang-surut air laut yang masuk hingga ke dapur rumah-rumah di kawasan Mariso pada pagi dan sore hari menyebabkan segala alat dan kebutuhan masak menjadi tidak permanen atau menggantung. Keadaan inilah yang membuat para masyarakat di Mariso lebih memilih untuk membeli makanan jadi dibandingkan harus memasak. Bagi kami, sajian karya ini menyadarkan bahwa pergeseran laut menjadi daratan di kawasan pesisir membawa dampak sekaligus kabar buruk, wujudnya dapat dilihat dari kotak bekal anak-anak PAUD Sokola Pesisir di Mariso.
*****
Pada akhirnya, melalui sajian karya seniman yang kami jumpai dalam pagelaran MB 2023 di Kota Makassar telah memaparkan kondisi pergeseran Selat Makassar dan menyuarakan isi hati masyarakat pesisir yang terdampak bias pembangunan kota-sentris. Bagi penguasa dan investor, laut hanyalah lumbung air yang lebih indah jika ditimbun dan mereklamasinya sebagai pusat kawasan pariwisata maritim. Dibalik kemegahan bangunan-bangunan kokoh bertingkat, ekosistem laut lumpuh akibat tumpukan sampah, cemaran limbah dan air laut yang dulunya biru kini hitam, bahkan akar penghidupan masyarakat pesisir dirampas. Jika air sebagai sumber penghidupan telah tercemar, lantas akar kehidupan apa lagi yang bisa direnggut demi menghasilkan uang?
Makassar Biennale 2023 bagi kami menjelma pemandu yang menggiring kita melihat sejarah perkembangan kota dan menyelami dampak signifikan dari bias “kota-sentris” terhadap lingkungan dan kelompok marginal di era kiwari saat ini, sekaligus menjadi proyeksi dengan serenceng resep temuan dari tim MB yang mencakup penulis, seniman, dan musisi dalam residensi yang diekspresikan melalui pameran, simposium, wicara seniman, koreografi, pemutaran film, KLAB musik.
Penulis: Andi Irma Saraswati dan Della Arlinda Birawa
keren sekali laporannyaaa