SAAT INI, saya sedang melanjutkan pendidikan pada salah satu kampus di Makassar. Saya tinggal di rumah tante yang akrab disapa matu atau mama tua (adik bapak). Tinggal dengan orang lain walaupun masih dalam keluarga sering memunculkan perasaan tidak enak. Apalagi saya adalah anak rantau dari Kalimantan yang jarang pulang kampung dan berinteraksi dengan keluarga matu. Sejak awal tinggal dengan keluarga, saya harus memahami kebiasaan dan batasan yang berlaku di rumah yang saya tinggali. Banyak hal yang harus saya biasakan, misalnya, saat tinggal dengan orang tua dan jam makan, saya bisa saja tidak duduk di meja makan untuk menemani atau ikut makan bersama. Namun, selama di rumah matu saat jam makan semua penghuni rumah akan dipanggil dan harus ikut makan bersama. Saya pun harus ikut duduk di meja makan, bahkan turut andil saat proses memasak dan menyajikan makanan.
Awalnya saya tidak menganggap bahwa dapur akan menjadi salah satu tempat yang menarik untuk dibahas dan dituliskan. Setelah mengikuti kegiatan Akademi Menulis Antropos Indonesia yang diusung oleh Antropos Indonesia mendorong saya untuk menulis hal-hal yang ada di sekitar. Saya tertarik dengan salah satu diskusi dan tulisan mengenai dapur yang tidak hanya menjadi tempat memasak, melainkan ruang dengan banyak aktivitas, bahkan bisa mencipta karya di dapur. Pada pertemuan ketiga, kami diperlihatkan sebuah tontonan dari kanal YouTube Makassar Binnale yang memperlihatkan bahwa bahan-bahan makanan dari dapur bisa menjadi sebuah karya. Salah satunya yang dilakukan oleh Eka Wulandari yang merupakan seorang crafter dan aktif berjejaring di komunitas. Eka mengambil tema tentang “tragedi meja makan”, terinspirasi dari pengalaman keluarganya yang sakit akibat tidak menjaga pola makan. Beliau berpikir bahwa pengaruh makanan sangat berdampak besar pada kesehatan tubuh. Eka lalu melakukan riset terkait bagaimana meja makan merekam rutinitas yang mengantarkan kita pada pola hidup yang tidak sehat.
Sama halnya dengan Viny Mamonto, seorang ibu rumah tangga dan pemusik, juga memperlihatkan karyanya tentang dapur. Beliau mengangkat tema “isi piringku”. Vinny berangkat dari pengalaman pribadinya yang sempat mengalami sakit ambeien pasca melahirkan karena pola makan yang tidak terkontrol. Karyanya berupa musik dari alat-alat dan bahan-bahan makanan yang ada di dapur. Selain itu beliau juga ingin menjelaskan tentang dapur sebagai ruang domestik yang kerap dilekatkan dengan perempuan. Vinny juga ingin menyuarakan kegelisahannya melihat permainan alat musik yang sering dilekatkan dengan laki-laki, padahal sebenarnya dapat diakses oleh siapa saja.
Saya mencoba mencari beberapa referensi, lalu bertemu bacaan dari situs Makassar Nol Kilometer yang membahas tentang dapur. Ada beberapa tulisan yang saya dapat, diantaranya adalah “Menelaah Makna Dapur di Sulawesi” karya Wilda Yanti Salam yang menjelaskan bagaimana filosofis masyarakat Kajang sangat memuliakan dapur sebagai sumber kehidupan dan “Cerita Tiga Dapur Keluarga” karya Rafsanjani yang menjelaskan ada tiga fase tempat tinggal yang sangat berperan penting dalam proses tumbuh kembangnya. Rafsanjani beranggapan bahwa dapur sebenarnya bukan hanya sebagai ruang memasak tetapi sejatinya jauh menyimpan pengetahuan warisan keluarga yang selama ini mungkin telah kita abaikan. Oleh karena itu, saya sadar dan tertarik untuk menulis soal dapur yang memang sangat melekat pada kehidupan kita sehari-hari. Banyak cerita dan pembelajaran yang berlangsung di dapur. Satu di antaranya dapur menjadi ruang yang dapat mendekatkan saya dengan keluarga.
Makanan, memasak dan dapur adalah hal yang sering dilekatkan pada perempuan. Dalam beberapa tradisi dan budaya, dapur memang diidentikkan dengan esensi perempuan sebagai seorang Ibu dan istri yang harus menyiapkan makanan untuk dirinya dan keluarga. Dapur merupakan tempat atau ruangan khusus yang berfungsi untuk menyimpan, menyiapkan bahan makanan untuk diolah ataupun dimasak sehingga makanan tersebut dapat disajikan sesuai dengan standar kesehatan dengan penampilan serta penyajian yang menarik (Mnantyo, 2011). Dapur selalu dikatakan ruang domestik bagi perempuan karena adanya anggapan bahwa perempuanlah yang bertugas mengurus bagian dapur. Namun, pada kenyataannya dapur bukan hanya ruangan khusus bagi perempuan tetapi bisa diakses oleh siapa saja yang memang ingin menggunakannya.
Saya tumbuh dalam keluarga yang tidak mengharuskan untuk pandai memasak. Namun, sejak tinggal dengan keluarga matu memaksa saya untuk terus ikut belajar memasak di dapur. Dapur di rumah ini cukup luas dengan ukuran 7x5 meter yang dipenuhi aneka perabot seperti kompor, rak bumbu dapur, panci dan lemari makan mengisi ruangan. Kemudian di petak sebelahnya terdapat meja makan berbentuk lingkaran yang menjadi tempat segala hal terjadi, mulai dari bercerita, belajar, menanamkan nilai-nilai kehidupan, dan sebagainya. Hal ini banyak berlangsung di meja makan. Rumah matu ramai penghuni, dia memiliki empat orang anak. Dua anaknya sudah menikah dan ikut dengan suaminya. Sedang dua orang lainnya bekerja di Jakarta.
Sejak tahun 1988 Matu tinggal di Makassar, tapi masih sering pulang-pergi ke Enrekang untuk menjual bawang. Tinggallah saya dengan paman untuk menjaga dan membersihkan rumah. Di keluarga matu keahlian memasak merupakan hal yang wajib dimiliki oleh seisi rumah. Matu selalu menjadi komando dapur dalam segala kegiatan memasak, dia juga menjelaskan dan memperbaiki jika ada kekeliruan yang dilakukan saat memasak. Paman tidak pernah mengeluh jika istrinya pergi ke Enrekang dan mempersiapkan makanannya sendiri. Anak-anak matu pun lihai dalam memasak. Saat ada acara keluarga, mereka sering kali menjadi komando dapur, seperti masak daging lada hitam, pallu basa, opor ayam dan juga masakan tradisional seperti barongko atau baje. Ahmad, anak laki-laki matu juga pandai dalam memasak, terlihat beberapa kali ia memasak tumis tempe dan capcai untuk makan sahur. Hafiz, cucu laki-laki matu yang baru berusia enam tahun juga sudah bisa memasak mie dan telur. Dapur memang diperkenalkan sejak dini pada mereka, sehingga dapur tidak hanya menjadi tempat memasak tetapi tempat belajar dan penanaman nilai-nilai kehidupan.
“Jadi manusia itu harus sabar dan banyak bersyukur.”
Begitulah kata-kata matu yang masih saya ingat sampai saat ini. Beliau biasanya bercerita soal permasalahan dengan teman kerjanya yang sering berbicara hal tidak benar. Selain untuk menguatkan diri sendiri, beliau juga mengajarkan untuk tidak perlu membalas keburukan yang dilakukan oleh orang lain dengan hal yang sama. “Cukup bersabar dan banyak bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang untuk menikmati hidup dan tidak peduli dengan omongan orang lain yang tidak benar, ucapnya. Selain memberikan wejangan mengenai nilai kehidupan, dapur juga menjadi tempat untuk berbagi pengalaman yang seru lainnya. Misalnya, pernah suatu waktu salah satu anak matu bercerita soal wilayah yang dia tinggali sekarang adalah kawasan rawan bencana yang memiliki banyak destinasi wisata. Anak matu ini mengikuti suaminya yang tinggal di Saumlaki Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan cukup jauh dari kota. Dia juga bercerita bagaimana tetangganya di Saumlaki yang baik karena sesama perantau, walaupun ada juga yang sempat berniat buruk padanya. Namun, karena sudah diajarkan sejak kecil untuk tetap sabar, dia sama sekali tidak membalas perbuatan jahat rekan kerjanya dan memilih untuk diam. Cerita anak matu ini kami dengar dengan hikmat.
Saat liburan akhir tahun, anak-anak matu akan menyempatkan waktunya untuk pulang dan melepas rindu dengan keluarga. Pagi-pagi semuanya akan berkumpul di dapur dan meja makan untuk berbagi cerita dan memulai aktivitas. Akan banyak cerita yang didengarkan, mulai dari bagaimana kehidupan rantau anak-anak matu, pengalaman hidup, kelakuan lucu cucunya, atau keluhan karena hujan yang turun tanpa henti dan membuat jalanan di depan rumah tergenang banjir. Tak jarang juga matu menerima tamu dan diarahkan langsung duduk di meja makan, biasanya yang datang ke rumah adalah kerabat atau keluarga. Dari hal itu saya sadar, dapur bukan hanya menjadi tempat memasak dan makan bersama, banyak hal yang terjadi di sana.
Dapur menjadi salah satu tempat kedekatan saya dengan keluarga di rumah yang saya tinggali sekarang. Setiap pagi, matu memulai memanaskan makanan sisa semalam kemudian memasak nasi dan sayur. Saya pun menemani sambil mencuci piring kotor. Saat itulah, matu biasa mulai bercerita, misalnya, hari itu kami membahas tentang air yang masuk ke dalam rumah karena derasnya hujan. Saya pun menjawab bahwa akhir-akhir ini angin memang sangat kencang terlihat dari beberapa pohon yang tumbang di sekitaran kampus. Sambil mengerjakan daun kelor dan kangkung, saya ikut duduk di sebelah matu untuk membantu. Biasanya saat seperti ini tak jarang matu mulai Kembali bercerita tentang pengalaman hidupnya dahulu yang bersusah payah demi menyekolahkan anak-anaknya.
Perjalanan matu ke Enrekang dimulai saat perusahaan tempat paman bekerja harus gulung tikar. Sejak saat itu kehidupannya berubah drastis karena harus bekerja dan meninggalkan anak-anaknya yang saat itu masih kecil pergi ke Enrekang untuk menjual bawang. Di sela-sela ceritanya, beliau tak lupa untuk mengingatkan bahwa kita sebagai manusia harus banyak bersabar. Dalam hidup memang punya banyak lika-liku dan permasalahannya sendiri, tetapi dengan bersabar dan berdoa pasti semuanya dapat dilewati.
Selain masakan atau bumbu dapur, biasanya matu menjadikan dapur sebagai ruang meramu obat. Misalnya, merebus daun jarak yang digosokkan pada kulit saat mandi jika mengalami gatal-gatal karena terkena kutu kucing. Ada juga daun sirih yang direbus, kemudian dihancurkan dan diletakkan di kepala cucunya yang masih bayi saat sakit demam. Ada banyak hal yang matu ajarkan saat berada di dapur, mulai dari teknik memasak, bagaimana mengolah makanan, dan berbagi resep-resep tradisional turun temurun.
Dapur memang menjadi pusat segala aktivitas dalam rumah ini. Meja makan tidak hanya tempat untuk makan bersama, tetapi bisa berubah menjadi ruang persidangan bagi orang yang berbuat salah atau melanggar batasan dalam rumah. Selain itu, meja makan juga bisa berubah menjadi ruang diskusi. Mulai dari diskusi tentang suatu permasalahan yang terjadi, rencana acara yang akan dilaksanakan, atau hanya sekadar bersantai.
Berbeda dengan keadaan dapur di rumah saya (Kalimantan). Mama memiliki tiga orang anak perempuan dan satu anak laki-laki. Satu diantaranya adalah saya yang paling jarang berada di dapur. Hanya sesekali jika saya ingin mencoba resep masakan yang saya temukan di media sosial, seperti puding roti, nasi goreng dengan resep terbaru atau masakan simpel lainnya. Saat ada waktu luang, biasanya saya membantu mama di dapur untuk membuat bumbu, memotong sayuran atau bahan makanan yang akan di masak.
Memasak bersama mama, saya akan mendengarkan ia bercerita tentang aktivitas selama belanja bahan masakan. Mulai dari harga ikan yang naik, bahan masakan yang tidak mama dapatkan saat belanja dan abang penjual yang tidak mau menurunkan harga saat ditawar. Saya pun akan melanjutkan bercerita tentang teman-teman di sekolah dan kejadian lucu yang saya alami dihari-hari sebelumnya. Dalam hal ini saya sadar bahwa dapur menjadi salah satu tempat yang mengakrabkan keluarga dari aktivitas memasak.
Mama tidak pernah memaksa saya agar pintar memasak, tetapi beliau selalu mengingatkan saya untuk terus merasa penasaran dan belajar akan suatu hal baru. Dapur pun menjadi ruang yang jarang saya tempati untuk bediskusi dengan keluarga dan lebih memilih kamar tidur atau ruang keluarga untuk membicarakan suatu persoalan. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh posisi dapur yang berada di belakang dan telihat tertutup. Walau di keluarga saya tidak mengharuskan untuk duduk bersama di meja makan saat sedang makan, tetapi tak jarang juga keluarga selalu menyempatkan untuk duduk dan makan bersama. Awalnya kami selalu makan bersama di meja makan, tetapi kini lebih memilih makan di ruang keluarga sambil menonton televisi. Satu alasan yang saya dapati adalah agar makannya lebih santai. Meski begitu, makan bersama tidak merubah esensinya menjadi momen untuk berbagi cerita, pengalaman, rencana jalan-jalan atau hal lainnya. Orang tua pun biasanya akan menanyakan soal sekolah saat makan bersama. Saat memutuskan untuk kuliah di luar pulau Kalimantan, untungnya kedua orangtua saya setuju jika kuliah di Makassar tetapi harus tinggal dengan keluarga. Salah satu alasannya adalah agar mudah untuk mengetahui bagaimana keadaan saya saat jauh dari mereka.
“Hati-hati kalo di kampung orang, harus jaga sikap jadi orang yang jujur dan pintar memilih teman”
Begitulah ungkapan orang tua saya yang selalu mengingatkan agar menjadi anak yang jujur dan pandai memilih lingkungan pertemanan di kota orang. Karena memiliki anak perempuan, mama selalu mengingatkan saya agar bisa jaga diri. Hal ini selalu beliau ungkapkan saat masak dan makan bersama atau saat ngobrol sambil menonton televisi. Begitu juga dengan bapak yang selalu mengingatkan kepada anak-anaknya agar berbuat baik dan tidak meninggalkan kewajiban beribadah. Sebagai seorang anak, saya akan selalu mengingat dan menjalankan yang diajarkan oleh kedua orang tua.
Dari serangkaian peristiwa cerita bagaimana dapur di kedua keluarga yang jelas berbeda membawa saya pada pandangan bahwa dapur yang selama ini hanya dilihat sebagai ruang untuk memasak, menyiapkan makanan dan makan bersama, sejatinya memiliki fungsi yang jauh lebih istimewa dari itu. Lewat dapur berbagai pengalaman hidup dan cerita keseharian dapat mengantarkan saya menjadi lebih dekat dengan keluarga.