Bahasa berfungsi sebagai medium utama dalam interaksi sosial manusia, baik melalui tuturan lisan, tulisan, maupun bentuk nonverbal seperti isyarat. Di Indonesia, Bahasa Indonesia menjadi lingua franca yang menghubungkan berbagai kelompok etnis, sementara bahasa daerah tetap memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal. Menurut data terbaru, Indonesia memiliki sekitar 718 bahasa daerah, termasuk tujuh bahasa utama yang digunakan di wilayah Sulawesi Selatan.
Di Kabupaten Enrekang, selain Bahasa Indonesia, penduduk menggunakan bahasa lokal yang secara umum dikelompokkan dalam rumpun Massenrempulu. Rumpun ini mencakup tiga dialek utama: Maiwa, Enrekang, dan Duri. Dialek Maiwa digunakan di wilayah selatan Enrekang dan dipengaruhi oleh bahasa Bugis, sedangkan dialek Duri, yang digunakan di bagian utara, memiliki kedekatan dengan bahasa Toraja. Dialek Enrekang sendiri mendominasi daerah kota dan sekitarnya.
Menariknya, meskipun secara tradisional ketiganya sering dianggap sebagai variasi dialektal dalam satu rumpun bahasa, terdapat perbedaan leksikal dan fonologis yang signifikan. Hal ini membuat komunikasi antarpenutur, misalnya antara pengguna bahasa Maiwa dan Duri, menjadi sulit tanpa adanya adaptasi linguistik. Perbedaan ini cukup mencolok sehingga sebagian ahli bahasa berpendapat bahwa ketiga dialek tersebut lebih tepat dikategorikan sebagai bahasa yang berdiri sendiri (Yamaguchi, 2018).
Fenomena ini menyoroti kompleksitas linguistik di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan, yang tidak hanya menyangkut jumlah bahasa, tetapi juga dinamika pengaruh antarbahasa akibat faktor geografis, migrasi, dan interaksi sosial. Dalam perspektif antropologi linguistik, keberagaman ini mencerminkan identitas kultural yang terfragmentasi sekaligus saling terkait, sehingga menarik untuk diteliti lebih jauh terkait bagaimana bahasa berperan dalam membentuk batas-batas sosial dan identitas etnis di tingkat lokal.
Pandangan lain dikemukakan oleh Mattulada, seorang antropolog dan budayawan Sulawesi Selatan, yang menyoroti bahwa bahasa yang digunakan di wilayah Enrekang merupakan bahasa peralihan antara Bugis dan Toraja. Perspektif ini menarik karena menempatkan Enrekang dalam posisi strategis secara linguistik, yang kemudian melahirkan dialek-dialek dengan ciri khas tersendiri. Keunikan ini dapat dipahami mengingat kondisi geografis daerah berdialek Duri yang berbatasan langsung dengan wilayah Toraja, sedangkan daerah berdialek Maiwa berdekatan dengan tanah Bugis, khususnya Kabupaten Sidrap dan Pinrang.
Kondisi ini memunculkan dua implikasi penting: tantangan sekaligus peluang. Tantangan utama terletak pada upaya untuk menyatukan ketiga varian bahasa ini ke dalam satu identitas linguistik, yakni bahasa Massenrempulu. Perbedaan yang cukup mendasar dalam hal leksikon dan struktur membuat konsensus tentang penyatuan ini sulit dicapai. Di sisi lain, keberagaman dialek ini justru dapat dipandang sebagai potensi besar bagi pengembangan kebudayaan lokal. Keberadaan dialek yang berakar dari interaksi antaretnis menunjukkan bahwa identitas linguistik masyarakat Enrekang merupakan hasil proses historis yang dinamis, dipengaruhi oleh migrasi, perdagangan, dan pernikahan antarkelompok.
Dalam perspektif antropologi linguistik, kondisi ini merefleksikan fenomena kontak bahasa (language contact) yang memunculkan situasi hibriditas linguistik, di mana bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga simbol identitas dan perekat sosial. Oleh karena itu, pelestarian bahasa-bahasa lokal di Enrekang perlu diupayakan secara terencana, bukan hanya untuk kepentingan dokumentasi, tetapi juga sebagai strategi mempertahankan warisan budaya yang mengandung nilai sejarah dan kebinekaan.
Dalam catatan kolonial Belanda yang dikutip oleh S. J. Esser (dalam Pelenkahu dkk., 1972), bahasa-bahasa yang digunakan oleh masyarakat Enrekang, yang kemudian dikelompokkan sebagai rumpun bahasa Massenrempulu, sempat digolongkan ke dalam kelompok bahasa Luwu. Namun, catatan tersebut tidak memberikan rincian apakah klasifikasi ini mencakup seluruh ragam bahasa yang ada di kawasan Enrekang atau hanya sebagian di antaranya. Dari perspektif linguistik, masyarakat Massenrempulu mengidentifikasi diri memiliki kekerabatan bahasa dengan Saqdan (Toraja), meskipun secara sosial-psikologis mereka cenderung merasa lebih dekat dengan masyarakat Bugis.
Pelenkahu menambahkan bahwa tingkat kesamaan leksikal antara ketiga ragam bahasa yang digunakan di Enrekang, yakni Maiwa, Enrekang, dan Duri, berada pada kisaran 40–55%. Persentase ini menunjukkan bahwa meskipun ada hubungan kekerabatan linguistik, perbedaan antarvarian cukup signifikan sehingga berdampak pada tingkat intelligibilitas (kemampuan saling memahami) antarpenutur. Hal ini sekaligus menegaskan kompleksitas identitas linguistik Massenrempulu yang tidak hanya merefleksikan perbedaan internal, tetapi juga dipengaruhi oleh posisi geografis Enrekang yang menjadi perlintasan antara dua kebudayaan besar: Bugis dan Toraja.
Fenomena ini dapat dipahami melalui pendekatan linguistik historis-komparatif, di mana persentase kesamaan leksikal sering digunakan untuk menentukan tingkat kekerabatan bahasa. Dengan persentase di bawah 60%, bahasa-bahasa ini lebih tepat disebut sebagai bahasa yang berbeda tetapi masih dalam satu subkelompok Austronesia. Secara antropologis, situasi ini menunjukkan bagaimana bahasa menjadi penanda identitas ganda: linguistiknya dekat dengan Toraja, tetapi orientasi sosial-budayanya condong ke Bugis yang membentuk dinamika identitas Massenrempulu sebagai entitas peralihan.
Grimes dan Grimes (1987), serta Djunaidi (1993), memberikan catatan penting terkait klasifikasi bahasa-bahasa di Sulawesi Selatan yang memperjelas posisi Bahasa Massenrempulu dalam peta linguistik regional. Berdasarkan tabel kesamaan leksikal yang mereka susun, Massenrempulu tidak dikategorikan sebagai subdialek Toraja, juga tidak dipecah menjadi empat bahasa terpisah, Duri, Endekan, Maiwa, dan Pattinjo (yang kini banyak digunakan di wilayah Kabupaten Pinrang), melainkan dianggap sebagai satu bahasa mandiri. Bahasa ini ditempatkan dalam rumpun bahasa Sulawesi Selatan bagian utara (North South Sulawesi languages), yang mempertegas identitas linguistiknya sebagai entitas tersendiri (lihat Djunaidi, 1993).
Lebih lanjut, tabel tersebut menunjukkan bahwa Massenrempulu tidak dimasukkan ke dalam subfamili Toraja-Saqdan, meskipun memiliki kedekatan tertentu dengan bahasa-bahasa dalam kelompok tersebut. Bahasa yang memiliki tingkat persamaan leksikal paling tinggi dengan Massenrempulu adalah Pattae (Binuang), yang dituturkan oleh komunitas Pattae di daerah pegunungan Polewali, Sulawesi Barat, dengan tingkat kesamaan sebesar 72%. Setelah Pattae, hubungan kekerabatan berikutnya adalah dengan Rongkong Atas (68%), Rongkong Bawah dan Sa’dan (66%), serta Toala’ atau Palili’ (65%), yang seluruhnya merupakan bagian dari subfamili Toraja-Sa’dan.
Data ini memperlihatkan bahwa meskipun Massenrempulu secara geografis berdekatan dengan wilayah Toraja dan Bugis, kedudukannya dalam klasifikasi bahasa justru membentuk identitas linguistik yang unik dan tidak sepenuhnya melebur dalam dua kebudayaan dominan tersebut. Secara teoretis, temuan ini mendukung konsep kontak bahasa (language contact) yang tidak selalu menghasilkan konvergensi penuh, melainkan sering melahirkan entitas baru dengan ciri-ciri khas. Di sisi lain, kedekatan leksikal dengan bahasa Pattae dan subfamili Toraja-Saqdan menegaskan adanya jaringan historis yang kompleks, kemungkinan terkait dengan migrasi, hubungan dagang, dan interaksi antarwilayah di masa lampau.
Menariknya, terdapat pandangan lain yang dikemukakan oleh Yamaguchi (2018) yang menyatakan bahwa apa yang selama ini disebut sebagai bahasa Massenrempulu sesungguhnya dapat dipisahkan menjadi tiga bahasa yang berdiri sendiri, bukan sekadar dialek. Pandangan ini berbeda dari perspektif tradisional yang menganggapnya sebagai satu bahasa dengan variasi dialektal. Sementara itu, Yulandari (2022) menegaskan bahwa terlepas dari perdebatan apakah Massenrempulu merupakan satu bahasa dengan sejumlah dialek atau terdiri atas tiga bahasa berbeda, bahkan ada pandangan yang menyebutkan bahwa bahasa Duri merupakan dialek dari bahasa Toraja—hal yang paling mendasar adalah pentingnya pelestarian bahasa ini.
Konteks ini menyoroti urgensi upaya dokumentasi dan revitalisasi, mengingat bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga representasi identitas kultural dan pengetahuan lokal. Dalam perspektif antropologi linguistik, setiap bahasa menyimpan kosmologi, nilai-nilai, dan cara pandang masyarakat penuturnya. Kehilangan satu bahasa berarti hilangnya warisan budaya yang tak tergantikan. Oleh karena itu, pelestarian bahasa Massenrempulu, baik dalam bentuk penelitian, pengajaran, maupun penggunaan dalam ruang publik, merupakan strategi penting untuk mempertahankan keberlanjutan identitas budaya masyarakat Enrekang di tengah arus homogenisasi akibat globalisasi dan dominasi bahasa nasional.
Hasil identifikasi Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Enrekang bekerja sama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Hasanuddin menunjukkan adanya keragaman linguistik yang signifikan di wilayah ini. Salah satu objek yang diinventarisasi adalah bahasa, yang dalam konteks ini merujuk pada bahasa yang digunakan masyarakat dalam percakapan sehari-hari atau berfungsi sebagai lingua franca di berbagai ruang interaksi sosial.
Temuan tersebut mengungkap setidaknya sebelas bahasa yang masih aktif digunakan hingga saat ini dalam berbagai domain komunikasi. Bahasa-bahasa tersebut mencakup: (1) Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan penghubung antar etnis; (2) Bahasa Massenrempulu sebagai representasi utama bahasa etnis lokal; (3) Kaluppini, yang merupakan subdialek dari Bahasa Massenrempulu dialek Enrekang; (4) Bahasa Duri, dialek Massenrempulu yang dominan di wilayah utara; (5) Bahasa Enrekang; (6) Bahasa Maiwa, dialek yang banyak digunakan di wilayah selatan; (7) Bahasa Bugis, dibawa oleh perantau Bugis yang menetap di Enrekang; (8) Bahasa Makassar, dituturkan oleh komunitas perantau Makassar; (9) Bahasa Mandar, terkait mobilitas masyarakat Mandar; (10) Bahasa Toraja, digunakan oleh komunitas Toraja yang tinggal di daerah perbatasan, termasuk kampung-kampung Toraja yang secara administratif berada di Enrekang; dan (11) Bahasa Pattinjo, yang secara historis merupakan bagian dari rumpun Massenrempulu.
Keberadaan sebelas bahasa ini mencerminkan ‘heteroglossia’ (Bakhtin, 1981) atau keberagaman bahasa dalam satu ruang sosial, yang menjadi ciri khas masyarakat multietnis. Keragaman ini juga menunjukkan bagaimana interaksi sosial, mobilitas penduduk, dan kedekatan geografis membentuk dinamika linguistik di Enrekang. Dalam perspektif antropologi linguistik, fenomena ini memperlihatkan bahwa bahasa tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai simbol identitas, alat negosiasi sosial, serta penanda sejarah migrasi dan hubungan antaretnis.
Implikasinya, upaya pelestarian bahasa di Enrekang tidak bisa dipandang sebatas pada Bahasa Massenrempulu, tetapi juga harus mempertimbangkan keberadaan bahasa-bahasa perantau yang sudah terintegrasi dalam ekosistem kebahasaan lokal. Pelestarian ini menjadi strategis mengingat kondisi saat ini di mana globalisasi dan dominasi bahasa nasional berpotensi menggeser peran bahasa-bahasa minoritas.
Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi, tetapi juga menjadi cerminan karakter suatu suku bangsa sekaligus simbol jati diri penuturnya. Dalam konteks kebudayaan Enrekang, sejarah menunjukkan keberadaan tiga subetnis utama yang secara administratif terdistribusi ke dalam beberapa kecamatan, yaitu Maiwa, Enrekang, dan Duri, yang secara kolektif dikenal sebagai masyarakat Massenrempulu. Ketiga subetnis ini masing-masing memiliki bahasa yang digunakan dalam interaksi sehari-hari, dengan ciri khas yang tidak terlepas dari pengaruh dua kebudayaan besar di Sulawesi Selatan, yakni Bugis dan Toraja.
Keberagaman linguistik ini semakin kompleks akibat kehadiran penduduk dari luar Kabupaten Enrekang, seperti komunitas Bugis, Makassar, Mandar, dan Jawa, yang membawa bahasa mereka masing-masing ke dalam ruang sosial setempat. Kehadiran bahasa-bahasa pendatang ini tidak hanya menciptakan heteroglossia, tetapi juga mencerminkan dinamika kontak bahasa (language contact) yang mendorong terjadinya fenomena bilingualisme dan multibahasa di tingkat komunitas. Dalam perspektif ekologi bahasa, situasi ini menggambarkan interaksi antara bahasa lokal dan bahasa pendatang yang dapat memengaruhi pola pewarisan bahasa, serta menimbulkan potensi language shift apabila tidak dikelola secara sadar melalui upaya pelestarian dan revitalisasi bahasa daerah.
Data Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) menunjukkan bahwa Kabupaten Enrekang memiliki struktur kebahasaan yang kompleks, terbagi atas tiga rumpun utama bahasa atau dialek: Maiwa, Enrekang, dan Duri. Masing-masing memiliki penutur dengan karakter linguistik yang terbentuk dari sejarah panjang interaksi budaya. Bahasa Maiwa, misalnya, mengandung unsur-unsur leksikal dan sintaktis dari bahasa Bugis karena kedekatan kultural dan geografis, sementara bahasa Duri cenderung menyerupai bahasa Toraja yang juga berpengaruh kuat di kawasan utara. Bahasa Enrekang sendiri menempati posisi tengah secara geografis maupun linguistik, di mana bagian selatannya mendapat pengaruh dari Maiwa, sedangkan bagian utaranya dari Duri.
Keragaman internal ini, meskipun merupakan refleksi kekayaan budaya dan sejarah sosial, sering kali menciptakan hambatan dalam komunikasi antarkelompok. Dalam situasi seperti ini, Bahasa Indonesia berperan sebagai lingua franca yang digunakan dalam konteks formal, antarkomunitas, dan dalam interaksi masyarakat dari latar belakang etnis berbeda. Hal ini memperlihatkan dinamika diglosia, yakni coexistensi antara bahasa lokal dan bahasa nasional dalam fungsi sosial yang berbeda.
Selain tiga rumpun utama tersebut, Enrekang juga dihuni oleh kelompok etnis minoritas seperti Jawa, Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Walaupun jumlah mereka secara demografis relatif kecil, mereka turut memperkaya keragaman linguistik daerah. Namun, dalam praktik interaksi sosial, kelompok-kelompok ini cenderung menggunakan Bahasa Indonesia, memperkuat posisi bahasa nasional sebagai alat komunikasi lintas etnis. Menurut data OPK, meskipun sebelas bahasa masih aktif digunakan dalam berbagai konteks, belum ada lembaga atau produk hukum daerah yang secara khusus mengatur tentang pelindungan dan pengembangan bahasa daerah di Enrekang.
Ketiadaan infrastruktur kebahasaan ini bukan berarti pemerintah daerah abai, tetapi mencerminkan kebutuhan untuk menyusun strategi berdasarkan prinsip skala prioritas kebijakan. Dalam konteks ini, peran negara dan pemerintah daerah dalam revitalisasi bahasa daerah menjadi penting agar keberlangsungan bahasa lokal dapat dijaga. Bahasa, sebagaimana disepakati dalam studi sosiolinguistik dan antropologi linguistik, merupakan instrumen penting dalam membentuk kohesi sosial dan identitas kultural, sehingga pelestariannya merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya pemajuan kebudayaan.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah menurunnya jumlah penutur bahasa daerah dari tahun ke tahun, terutama karena meningkatnya penggunaan Bahasa Indonesia dalam lingkungan keluarga. Hal ini sekali lagi menunjukkan indikasi language shift, yaitu pergeseran dari penggunaan bahasa lokal ke bahasa dominan dalam praktik keseharian. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan berbagai langkah strategis, di antaranya: memperkuat muatan lokal bahasa daerah dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, menambah alokasi waktu pengajaran bahasa daerah di sekolah, dan mendorong penelitian-penelitian yang mendukung pelestarian bahasa, seperti melalui pengembangan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) dan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan Daerah (RIPKD).
Pelibatan multipihak (multi-stakeholder approach) sangat krusial dalam inisiatif ini. Aktor-aktor penting yang dapat berkontribusi mencakup: Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Enrekang, Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, Balai Bahasa Sulawesi Selatan, satuan pendidikan di semua jenjang, komunitas literasi dan sastra lokal, perpustakaan warga, serta masyarakat umum, khususnya generasi muda yang menjadi penentu masa depan eksistensi bahasa daerah. Pelibatan lintas sektor ini perlu dikembangkan dalam kerangka kerja kolaboratif berbasis komunitas agar pelestarian bahasa daerah tidak hanya menjadi program simbolik, melainkan benar-benar hidup dalam praktik sosial masyarakat Enrekang.
Informasi lebih detail terkait Etnik Massenrempulu, termasuk bahasanya, bisa dilihat di buku Suku-Bangsa Massenrempulu yang ditulis oleh Munsi Lampe dkk sebagai hasil riset kajian bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Enrekang dan Antropos Indonesia.
